Perhatian Luar Biasa Terhadap Hadits Nabi
Sumber
hukum dan ilmu yang paling otentik bagi umat Islam adalah Al-Qur'an
dan Hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Allah telah
memberikan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga
Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Mereka orang-orang yang jujur, amanah dan
memegang janji. Sebagian mereka mencurahkan perhatiannya terhadap
Al-Qur'an dan ilmunya, yaitu para Mufassir dan sebagian memprioritaskan
dalam menjaga Hadits Nabi, mereka adalah ahli Hadits.
Para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabiin memiliki perhatian sangat besar dalam menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannya dari generasi ke generasi. Mereka selalu mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah sebagaimana firman Allah :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian" (QS Al-Ahzab:21)
Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang mengerjakan semua larangan beliau,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
"Dan Ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan tinggalkan apa yang dilarang untukkmu (QS Al-Hasyr:7)
Keteladanan mereka lepada Rasulullah sangat luar biasa, sehingga tidak pernah bertanya tentang sebab atau musabab dari perbuatan beliau.
Diriwayatkan dari Al-BUkhari dari Ibnu Umar radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullan Shallallahu a'alaihi wasallam mengenakan cincin dari emas, lalu orang-orang mengenakan juga dari emas. Kemudian Nabi membuangnya dan bersabda,
"Aku tidak akan mengenakannya untuk selama-lamanya", maka mereka pun membuang cincin tersebut.
Ibnu Hajar berkata, "Hadist ini menunjukkan bahwa para sahabat selalu bergegas untuk meneladani semua perbuatan Rasulullah. Selama beliau menetepkan mereke mengikutinya, dan ketika beliau melarang mereka meninggalkannya" [1]
Dari Jabir, bahwasannya ia pernah pergi ke Syam untuk meriwayatkan satu hadist dari Abdullah bin Unai [2]
Dan Abu Ayyub berangkat dari Madinah menuju Mesir hanya untuk meriwayatkan sebuah Hadits dari Uqbah bin 'Amir [3]
Para tabi'in dan para pengikutnya tidak kalah "tamaknya" dalam mencari hadits dari para sahabat. Mereke mengikuti jejak dan langkah para sahabat. Said bin Al-Musayyib, salah satu tabi'in senior berkata, " Untuk mendapatkan satu hadits, aku rela menempuh beberapa hari perjalan siang malam" [4]
Amir as-Sya'bi, berangkat ke Makkah untuk mendapatkan tiga hadits yang pernah diceritakan kepadanya dengan harapan dapat bertemu dengan salah satu sahabat lalu bertanya tentang hadits-hadits tersebut.
As-Sya'bi menceritakan sebuah hadits kepada seorang lalu berkata kepadanya, "Aku berikan ini kepadamu secara cuma-cuma, yang pernah didapatkan dengan menempuh perjalanan ke Madinah"
Para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabiin memiliki perhatian sangat besar dalam menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannya dari generasi ke generasi. Mereka selalu mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah sebagaimana firman Allah :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian" (QS Al-Ahzab:21)
Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang mengerjakan semua larangan beliau,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
"Dan Ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan tinggalkan apa yang dilarang untukkmu (QS Al-Hasyr:7)
Keteladanan mereka lepada Rasulullah sangat luar biasa, sehingga tidak pernah bertanya tentang sebab atau musabab dari perbuatan beliau.
Diriwayatkan dari Al-BUkhari dari Ibnu Umar radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullan Shallallahu a'alaihi wasallam mengenakan cincin dari emas, lalu orang-orang mengenakan juga dari emas. Kemudian Nabi membuangnya dan bersabda,
"Aku tidak akan mengenakannya untuk selama-lamanya", maka mereka pun membuang cincin tersebut.
Ibnu Hajar berkata, "Hadist ini menunjukkan bahwa para sahabat selalu bergegas untuk meneladani semua perbuatan Rasulullah. Selama beliau menetepkan mereke mengikutinya, dan ketika beliau melarang mereka meninggalkannya" [1]
Dari Jabir, bahwasannya ia pernah pergi ke Syam untuk meriwayatkan satu hadist dari Abdullah bin Unai [2]
Dan Abu Ayyub berangkat dari Madinah menuju Mesir hanya untuk meriwayatkan sebuah Hadits dari Uqbah bin 'Amir [3]
Para tabi'in dan para pengikutnya tidak kalah "tamaknya" dalam mencari hadits dari para sahabat. Mereke mengikuti jejak dan langkah para sahabat. Said bin Al-Musayyib, salah satu tabi'in senior berkata, " Untuk mendapatkan satu hadits, aku rela menempuh beberapa hari perjalan siang malam" [4]
Amir as-Sya'bi, berangkat ke Makkah untuk mendapatkan tiga hadits yang pernah diceritakan kepadanya dengan harapan dapat bertemu dengan salah satu sahabat lalu bertanya tentang hadits-hadits tersebut.
As-Sya'bi menceritakan sebuah hadits kepada seorang lalu berkata kepadanya, "Aku berikan ini kepadamu secara cuma-cuma, yang pernah didapatkan dengan menempuh perjalanan ke Madinah"
Su’ul Khatimah
Setiap
manusia tentu mengharapkan kelak agar ia dapat mati dalam keadaan yang
baik (husnul khatimah). Namun ternyata, keadaan akhir yang baik
tersebut bukanlah suatu perkara yang mudah untuk digapai. Hanya
orang-orang yang memiliki keimanan dan keistiqomahan yang kuat lah yang
mampu menggapai akhir kehidupan yang baik. Akhir kehidupan yang buruk
(su’ul khatimah) merupakan suatu bencana yang sangat besar bagai
seorang muslim karena ia menjadi tanda awal petaka bagi perjalanan
hidup selanjutnya menuju akhirat. Shiddiq Hasan Khan menceritakan
bahwa, “Su’ul khatimah memiliki sebab-sebab yang harus diwaspadai oleh
seorang mukmin.” Kemudian beliau pun menyebut sebab-sebab seseorang
tertimpa su’ul khatimah.
Kerusakan Akidah
Kerusakan
dalam akidah, walaupun disertai dengan zuhud dan kesalehan yang
sempurna, maka hal tersebut dalam menyebabkan seseorang terkena su’ul
khatimah. Jika ia memiliki kerusakan dalam akidahnya dan ia meyakini
serta tidak menyangka bahwa hal tersebut sebagai suatu kesalahan, maka
terkadang kekeliruan akidahnya itu akan tersingkap pada saat dirinya
mengalami sakratul maut. Setelah tersingkap, maka kerusakan sebagian
akidahnya menyebabkan terhapusnya akidah lainnya. Dengan demikian, bila
ia wafat dalam keadaan seperti ini sebelum ia menyadari dan kembali
kepada iman yang benar, berarti ia mendapatkan su’ul khatimah dan wafat
dalam keadaan tanpa iman. Selain itu, ia termasuk orang yang disebut
oleh Allah dalam ayat, “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang
belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar: 47), dan ayat,
“Katakanlah, ‘Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan ini, padahal mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104).
Jadi,
setiap orang yang memiliki akidah yang keliru, baik karena pendapatnya
sendiri atau mengambil pendapat orang lain, maka ia berada dalam
bahaya besar, dan zuhud serta kesalehannya akan sia-sia.
Maksiat
Banyak
melakukan maksiat, maka kemaksiatan itu akan terus menumpuk dalam
hatinya, dan memori terhadap kemaksiatan itu akan terungkap pada saat ia
menghadapi kematian. Sebaliknya, jika seseorang cenderung pada
ketaatan, maka kebaikan akan banyak hadir dalam memorinya disaat ia
menghadapi kematian. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Tidaklah seseorang itu
mati kecuali ditampilkan kepadanya orang-orang yang biasa ia gauli.
Seorang lelaki yang suka bermain catur, maka ketika ia sekarat kemudian
dikatakan kepadanya, “Ucapkanlah la ilaha illah Allah.” Ia akan
menjawab, “Skak!” kemudian ia mati. Jadi, yang mendominasi lidahnya
adalah kebiasaan yang sering ia lakukan selama hidupnya. Akibatnya, pada
akhir hayatnya ia mengganti kalimat tauhid dengan kalimat “skak”. Ini
seperti orang yang kawan-kawannya adalah pemabuk. Saat sekarat,
seseorang datang untuk mengajarkannya kalimat syahadat, tetapi ia malah
berkata, “Mari minum dan tuangkan untukku!” Kemudian ia mati.
Tidak Istiqamah
Sungguh
seseorang yang istiqamah pada awalnya, lalu berubah dan menyimpang
dari awalnya bisa menjadi penyebab ia mendapat su’ul khatimah,
sebagaimana iblis yang pada mulanya merupakan pemimpin dan guru
malaikat yang banyak ibadah. Tapi tatkala ia diperintahkan oleh Allah
untuk sujud kepada Adam, ia kemudian membangkang serta menyombongkan
diri hingga akhirnya pun iblis dimasukkan kedalam golongan kafir.
Iman yang Lemah
Iman
yang lemah dapat melemahkan cinta kepada Allah dan menguatkan cinta
dunia dalam hatinya, bahkan kelemahan imannya itu dapat menguasai dan
mendominasi dirinya sehingga tidak tersisa dalam hatinya tempat untuk
cinta kepada Allah kecuali sedikit saja. Lemahnya iman dalam diri
seseorang dapat menjerumuskan ia dalam lembah nafsu syahwat dan maksiat,
sehingga noda dosa dalam hatinya akan menumpuk sehingga akhirnya akan
memadamkan cahaya imannya. Akhirnya, jika ia mati dalam keadaan iman
yang sangat lemah ini, maka ia akan terancam diakhir hayatnya tertimpa
su’ul khatimah.
Hal
utama yang menyebabkan seseorang terkena su’ul khatimah adalah karena
kecenderungan hatinya cinta pada dunia. Cinta dunia adalah penyakit
hati yang umumnya menimpa manusia. Jadi, orang-orang yang menjelang
kematiannya, sedangkan hatinya dikuasai oleh kecintaan terhadap dunia,
maka roh yang keluar dari jasadnya kelak akan tunduk pada dunia dan
terhalang dari Tuhannya.
Betapa
menyedihkan ketika seseorang hidup di dunia bergelimang harta dan
tahta, namun harus menghadapi akhir hayatnya dalam keadaan yang hina.
Sesungguhnya rahmat dan ampunan Allah begitu luas, sehingga tidak
mengenal kata terlambat memohon keselamatan pada-Nya agar kelak kita
dapat mengakhiri hidup ini dalam keadaan yang diridhoi-Nya.
I. Bencana datang karena ucapan
“Tidaklah timbul celaan pada saudaramu, kemudian Allah berikan rahmat padanya dan timpakan cobaan padamu”
[2]. Yang dimaksud dengan celaan adalah seorang muslim yg
menjelek-jelekkan saudaranya sesama muslim karena suatu dosa, padahal
ia sudah bertaubat daripadanya, atau mengolok-olok fisik, gaya bicara,
atau gerakannya. Ini adalah perkara yang berbahaya. Sedikit sekali
orang yang waspada dari perkara ini. Dalam sebuah atsar: “Barangsiapa mencela saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati sebelum melakukannya” [3].
Berkata Imam Ahmad: "Aku mendengar al-Hasan berkata: "Kami
memperbincangkan bahwa siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena
suatu dosa yang ia sudah bertaubat pada Allah darinya maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan memberi cobaan padanya" [4]. Berkata Ibnu Sirin: "Aku pernah mencela seseorang karena kerugian, maka aku mengalami kerugian!". Berkata Ibnul Jauzi: Berkata seseorang: Aku mencela seseorang yang sebagian giginya sudah tidak ada, maka gigiku bertaburan !” [5].
Nah, jika anda merasakan banyak masalah, ruwetnya problematika
kehidupan, seringnya cobaan menyapa, seakan akan setiap tarikan nafas
kita adalah masalah dan masalah. Maka perlu diteliti jangan-jangan kita
telah salah dalam berucap. Jangan-jangan saking mudahnya lisan kita ceplas-ceplos
hingga ada kata-kata tidak sedap yang nyangkut di hati saudara kita.
Apalagi di era yang sangat mengagung-agungkan kebebasan berekspresi
kini. Seakan kebebasan itu menjadi tameng mengumbar kata-kata kurang
manfaat. Khususnya keadaan disekitar kita, bangsa kita, jangan-jangan
bangsa yang bisanya “cuma omong doang" pintar berkoar dan suka ribut itu kian bertumpuk cobaan dan masalah dikarenakan mulut-mulut dan lidahnya kurang dijaga. Wallahu musta’an.
Diriwayatkan dari sebagian pendahulu yg shalih: "Seandainya aku mengejek seekor anjing, tentu aku khawatir diriku menjadi anjing".
Demi Allah, ini adalah hal yang nyata dan akibatnya nyata baik
terhadap orang yang mencemooh atau pada keturunannya. Ini semua adalah
akibat buruk dari maksiat dan berbagai kepahitan yang ditimbulkan
olehnya. Tidak ada yang bisa menolak bala ini kecuali doa yang agung
ini: "Segala puji bagi Allah yang melepaskanku dari apa yang telah menimpamu dan melebihkanku dari kebanyakan makhluknya". Nabi bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkannya tidak akan tertimpa bala tersebut" [6].
II. Laknat dan akibat buruknya
Laknat sering dijumpai pada kebanyakan omongan manusia. Ini adalah
salah satu bala yang meluas. Benarlah hadits nabi Muhammad SAW ketika
di tanya tentang orang-orang yang suka melaknat, beliau menjawab : "Manusia di akhir zaman, ucapan salam yang mereka ucapkan di saat bertemu adalah : saling melaknati" [7].
Perhatikan akibat buruk dari laknat dalam hadits ini, dari Abu Darda' bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya
bila ada seseorang yang mengutuk sesuatu maka kutukan itu naik ke
langit, tetapi pintu-pintu langit itu ditutup tidak mau menerima
kutukan tersebut, kemudian kutukan itu turun ke bumi tetapi pintu-pintu
bumi itu ditutup tidak mau menerima kutukan tersebut. Lantas kutukan
itu lari ke kanan dan ke kiri, apabila kutukan itu tidak mendapat
tempat maka ia mencari orang yang dikutuknya, bila orang itu pantas
mendapat kutukan, maka ia menimpa orang itu, tetapi bila orang itu tidak
pantas mendapat kutukan maka ia kembali kepada orang yang mengucapkan
kutukan tersebut" [8].
Lebih dari itu, laknat menyebabkan pelakunya diharamkan dari mati
syahid dan syafaat, sebagaimana dalam hadits Abu Darda : Aku mendengar
Rasulullah bersabda: "Orang-orang yang suka melaknat itu tidak bisa memberikan syafaat dan tidak pula meraih syahid" [9].
Termasuk dalam hal ini bila yang dilaknat tidak berakal (hewan, benda
dll–pent), sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu Abbas tentang
seseorang yang melaknat angin, maka Nabi bersabda: "Jangan engkau
melaknatnya, karena sesungguhnya ia diperintah. Barangsiapa yang
melaknat sesuatu yang tidak semestinya, maka ia akan kembali pada
orang yang mengucapkannya" [10].
Demikianlah kengerian akibat laknat dan kutukan, padahal ianya berasal
dari sebongkah lidah tak bertulang. Ringan tanpa beban saat
mengucapnya, tapi berat menggunung akibatnya, terlebih konsekuensi
syariat dibelakangnya. Jangankan meraih syahid, malahan akan balik
menjadi boomerang mengenai diri sendiri kutukan dan laknat itu sekecil
apapun. Ayo dipikir-pikir sendiri…pernahkah kita terceplos kalimat atau kata terkategorikan laknat dan kutukan walau secuil?
Termasuk dari dosa yang terbesar bila seorang anak melaknat kedua
orang tuanya dengan cara tidak langsung, sebagaimana diberitakan oleh
Nabi: "Seseorang yang mencela ayah orang lain, lalu orang yang di
cela itu mencela ayahnya, dan ia mencela ibu orang lain, lalu orang
yang di cela tersebut membalas dengan mencela ibu (orang yang mencela)" [11].
Dikiaskan dengan perbuatan laknat ini adalah memfasikan atau mengkafirkan seorang mukmin [12].
Nah, inilah jeratan halus bagi para pencela, benar ianya tidak
langsung mencela kedua-orangtuanya sendiri (bahkan agama anutannya),
tapi perbuatan mencela orang-tua orang lain, serta agama lain akan
membalik kepada dirinya sendiri. Terlebih belitan “ghuluw” di
zaman kita makin kuat. Hingga muncullah model manusia-manusia tukang
cela berdalih agama, maksud hati pengen tampak ilmiah dan tegas dimata
insan, tapi panggang jauh dari apinya. Maka makin berhati-hatilah terhadap lisan tak bertulang yang kita miliki
Dosa
Manusia
bukanlah sosok makhluk yang sempurna. Ia senantiasa terjerumus dalam
lupa dan dosa. Tak pernah sedikitpun ia kan terluput dari segala macam
kesalahan. Salah, menjadi suatu hal yang dibenci, namun merupakan suatu
keniscayaan yang akan manusia alami. Akan tetapi, kesalahan dalam
suatu kemaksiatan memberi citra yang kelam bagi diri seseorang.
Kemaksiatan
tidak hanya menghapuskan akumulasi pahala yang telah kita kumpulkan,
namun terkadang pula menjadikan seseorang putus asa untuk meraih tujuan
hidupnya. Acapkali seseorang yang terbelenggu dalam maksiat menjadi
hilang dalam menggapai asa, seolah runtuh sudah pondasi kebajikan yang
selama ini ia bangun dengan jerih payah. Kemaksiatan memang selalu
menghantui manusia dengan derita. Derita berupa siksa dan azab yang siap
turun entah dari langit atau bumi datangnya. Padahal, pada saat kita
terjerat dalam kemaksiatan, kita tentu belum siap untuk menghadapi
kebinasaan.
Kemaksiatan
memang merupakan derita yang tiada tara. Diri kita dibuatnya menjadi
pecundang dan pengecut dalam menghadapi kematian. Tak hanya itu,
kemaksiatan juga meninggalkan noktah-noktah hitam dalam hati kita,
menjadikan diri kita sebagai sosok yang keras, kaku, dan kasar.
Hilanglah dari dalam diri kita sifat kelembutan, kebijaksanaan, dan
kearifan. Air mata pun tak sanggup lagi mengalir dari pelupuk mata kala
mendengar ayat-ayat Tuhan dikumandangkan. Kepedulian terhadap sesama
pun lenyap, bahkan pun mungkin saja senyum tersirat manakala mendengar
orang lain tertimpa dalam bencana. Itulah hati yang telah ternaungi
oleh awan gelap. Kemaksiatan telah menggerogoti esensi kemuliaan hati,
kemudian menjadikannya hina. Hati seolah kehilangan pijakan dalam
melakukan suatu amalan. Semakin lemah oleh rayuan iblis yang teramat
melenakan. Hati demikian mudah tergoda akan rayuan makhluk laknat yang
menawarkan kesenangan sesaat. Ia kehilangan arah ditengah pekatnya
kabut. Tak lagi ada kendali yang mampu menakhodai. Kemaksiatan merupakan
cerita pilu dari langkah awal memijak jurang neraka.
Kemaksiatan
memang tombak yang menikam jiwa. Ia tidak hanya menjadikannya luka,
namun mengoyaknya hingga tercabik-cabik. Jiwa ataukah hati itu menjadi
serpihan-serpihan yang sulit untuk merangkainya kembali. Maksiat
mengeraskan hati, menjadikannya seakan-akan tameng yang tak tertembus
cahaya hidayah. Tentu saja, hal itu akan semakin menenggelamkan hati
dalam penyimpangan dan kesesatan. Hati kian terkekang dalam racun dan
candu, sulit untuk melepaskan diri darinya. Hati semakin tergoda
menunaikan satu kemaksiatan, dan kemudian akan menuju kemaksiatan yang
lain.
Demikian
hinanya suatu kemaksiatan, hingga ilmu pun pergi dan tak sudi hinggap
diakal pikiran. Ilmu sungguh merupakan cahaya yang menjadi penerang
dalam hidup kita. Maka ia hanya ingin terendap dalam pikiran dan hati
yang bersih.
Pintu
taubat masih terbuka lebar selama ruh masih bersemayam didalam raga.
Tuhan pun tak sungkan menerima taubat hamba-Nya sebelum kiamat datang
menghampiri. Iringan amal soleh pun akan menyapu debu-debu dosa yang
mengotori jiwa kita. Namun, ternyata sedikit saja dari kita yang
berkomitmen untuk melaksanakannya. Betapa banyak anak manusia yang
justru bangga, atau mungkin bahagia konsisten dalam menempuh jalan
kelam. Tetap mereka tidak mungkin merasakan esensi kebahagiaan dalam
suatu kemaksiatan. Tentu saja, kita semua harus bertanya kepada relung
hati yang terdalam. Tidak ada satu pun dari diri kita yang tidak ingin
menghirup sejuknya udara surga. Kelamnya hati tentu akan tetap
merindukan kebahagiaan di akhirat nanti. Kita tetap saja manusia,
makhluk lemah yang tiada sanggup menghadapi siksa neraka yang panasnya
tujuh puluh kali lipat dari panasnya api di bumi. Mungkin mulut kita
biasa berdusta, namun sanubari tidak akan bisa ditipu. Tanyakan
padanya, pasti sanubari teramat mendamba ketentraman kehidupan di
surga. Maka tiada lain, kerahkan upaya lindungi diri dari segala
perbuatan dosa.
Setiap Orang Adalah Guru Kehidupan
Sikap
menghargai orang lain merupakan identitas seorang muslim, penghargaan
yang tanpa melihat status, warna kulit, ataupun pekerjaan seseorang.
Seorang yang mengakui dirinya muslim, wajib mau menghargai orang lain.
Penghargaan itu harus hadir di atas keyakinan bahwa masing-masing orang
memiliki kelebihan, dan tidak ada seorang pun di antara kita yang
sanggup hidup, dan menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
Manusia adalah makhluk berjama’ah yang memerlukan kontribusi orang lain
dalam hidupnya. Tetapi, seringkali penghargaan itu hilang dari diri
kita, terhadap orang-orang yang selama ini ada disekitar kita,
orang-orang yang banyak memberi kontribusi untuk kemudahan dalam hidup
kita, justru karena mereka sering bersama kita.
Agar
hal ini tidak lagi menjadi kebiasaan kita, maka ada persepsi-persepsi
yang harus kita bangun, agar ketika kita memandang orang lain ada
pemuliaan dan penghargaan yang membuat mereka layak menjadi bagian
penting dalam hidup kita.
Setiap Orang Punya Perasaan yang Harus Dijaga
Manusia
adalah makhluk yang tumbuh di dalam dirinya perasaan. Tak peduli
seperti apa statusnya, seberapa usianya, dan bagaimana keadaannya,
perasaan itu selalu ada dalam dirinya. Anak kecil punya perasaan
sebagaimana orang dewasa pun mempunyai perasaan. Rakyat jelata pun
memiliki perasaan sebagaimana juga penguasa maupun bangsawan. Dan kita,
wajib memahami dan memaklumi perasaan itu agar bisa menghargai setiap
orang yang kita hadapi.
Dalam konsep ‘hablum minannas’
yang diajarkan kepada kita, ada tujuan dan maksud yang sangat jelas
bahwa kita perlu menjaga hubungan sesama manusia, selain menjaga
hubungan baik dengan Dzat yang Maha Pencipta. Maknanya adalah, menjaga
perasaan orang lain sama pentingnya dengan menjaga perasaan diri
sendiri, karena Allah Ta’ala telah menjadikan manusia itu senang akan
penghargaan, pujian, dan kelembutan tutur kata sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159).
Penghargaan
terhadap perasaan orang lain tidak berarti kita harus selalu setuju
dengan apa yang diucapkan atau yang dikerjakannya. Menghargai orang
lain secara sederhana bisa dilakukan dengan mengatur dan memperbaiki
tata cara kita mendengar, menanggapi, dan memberi perhatian terhadap
apa yang diceritakan, dikerjakan atau yang diperankan orang tersebut.
Setiap Orang Adalah Guru Kehidupan
Dikehidupan
ini, sesungguhnya hubungan kita dengan orang lain bukanlah sekedar
interaksi dan pergaulan biasa. Tetapi kita hidup untuk saling berbagi,
memberi, maupun menerima dalam hal apapun. Dalam kehidupan ini,
sesungguhnya kita saling mengisi, saling mengajar untuk mencapai dan
mendapatkan keadaan kita yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih
bermartabat.
Dikehidupan
ini kita sedang belajar banyak hal agar kita dapat menemukan kearifan.
Berproses dan terus berproses, hingga kelak kita menjadi orang-orang
yang bijak. Dan setiap orang yang kita temui adalah guru-guru kita yang
akan mengajarkan sesuatu yang baik tentang makna kehidupan dan arti
pergaulan. Karena itulah kita harus bisa menghargai siapa pun orang di
dunia ini, termasuk orang-orang biasa yang setiap kita temui dengan
peran-perannya yang sederhana. Termasuk orang-orang yang kadang-kadang
kita pandang sebelah mata karena status dan pekerjaannya mungkin tak
sepadan dengan kita.
Setiap
orang adalah guru dalam kehidupan kita. Kita belajar darinya tentang
pribadinya yang unik dan menarik, yang kadang tersembunyi atau sengaja
kita sembunyikan karena hanya mau melihatnya dari sudut luar yang
sempit, dari tubuhnya yang hanya dibalut dengan pakaian yang lusuh.
Jangan Abaikan Ucapan Terima Kasih
Manusia
tidak akan pernah bisa hidup dengan mengerjakan segala sesuatunya
dengan sendiri. Kita mesti memerlukan banyak bantuan orang lain,
sekecil apapun bantuannya. Karena itu, kita harus pandai berterima
kasih kepada “orang-orang kecil” yang hadir disekitar kita, membantu
kita menyelesaikan tugas-tugas dan urusan-urusan kita.
Mengucapkan
terima kasih adalah suatu penghargaan yang tulus kepada orang lain dan
tidak dapat kita nilai dengan uang. Mengucapkan terima kasih tidaklah
perlu memandang kepada siapa kita berterima kasih. Mungkin saja kita
berterima kasih kepada orang lain yang mungkin status sosialnya jauh
dibawah kita.
Ucapan
terima kasih kita yang tulus, laksana air yang menyejukkan dahaga
ditengah padang pasir. Ucapan terima kasih walaupun sepele, akan tetapi
mengandung makna yang begitu besar. Seseorang yang mengucapkan terima
kasih menunjukkan bahwa orang tersebut berbesar hati, mau memberikan
penghargaan kepada lawan bicaranya. Ucapkan terima kasih kepada siapa
pun yang telah membantu kita menyelesaikan tugas-tugas kita.
Ucapan
terima kasih tentu patut kita layangkan kepada orang-orang yang kurang
kita hargai selama ini, karena dengan begitu, maka secara otomatis
kita telah berterima kasih kepada Allah Ta’ala.
Setiap Pribadi Adalah Penting dan Istimewa
Sesungguhnya
setiap orang memanglah istimewa. Setiap orang memiliki kelebihan, dan
karena itu kita saling membutuhkan. Dan karena itu pulalah, kita tidak
boleh saling merendahkan. Kita diajarkan kalimat, “Jangan engkau
rendahkan orang lain, kerena setiap sesuatu punya kelebihan dan
keistimewaan.”
Sesekali
mungkin kita perlu memerhatikan tukang sol sepatu, tukang reparasi
payung, tukang jahit keliling, pemangkas rambut, yang sering
menghampiri kita untuk menawarkan jasanya. Tangan-tangan mereka begitu
lincah dan terampil, sehingga kita merasa nyaman dan percaya
menggunakan jasa mereka. Tapi, orang-orang itu begitu sulit kita
hargai. Kadang ketika kita memakai jasa seorang tukang sol sepatu,
dengan begitu kejamnya kita menawar harga. Padahal, bisa jadi di hari
itu, kita adalah pelanggan pertamanya setelah menempuh perjalanan yang
teramat jauh. Sementara di rumahnya telah menunggu anak istri yang
membutuhkan makanan dan pakaian.
Orang-orang
itu adalah orang-orang istimewa. Mereka mampu mengerjakan sesuatu yang
tidak dapat kita lakukan. Maka untuk menghargai mereka, tidak akan
bisa jika kita tak pernah menganggapnya penting dan istimewa.
Orang-orang
itu memang kecil secara pekerjaan, tapi istimewa dari sisi keahlian.
Mereka ada disekitar kita, selalu bersama kita dengan tanpa pernah
menuntut untuk dihargai, sebab mereka adalah orang-orang yang tahu
diri, lebih dari kita. Akan tetapi interaksi dan kebersamaan kita
dengan mereka, sudah seharusnya mendorong kita untuk pandai menghargai,
memuliakan, dan menghormati, sebab tanpa kehadiran mereka mungkin
tidak ada pekerjaan-pekerjaan berat yang bisa kita selesaikan, tak ada
prestasi-prestasi hebat yang bisa kita capai.