Iklan

Senin, 30 September 2013

Yuk, Tinggalkan maksiat....

Perhatian Luar Biasa Terhadap Hadits Nabi 

Sumber hukum dan ilmu yang paling otentik bagi umat Islam adalah Al-Qur'an dan Hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Allah telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Mereka orang-orang yang jujur, amanah dan memegang janji. Sebagian mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur'an dan ilmunya, yaitu para Mufassir dan sebagian memprioritaskan dalam menjaga Hadits Nabi, mereka adalah ahli Hadits.

Para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabiin memiliki perhatian sangat besar dalam menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannya dari generasi ke generasi. Mereka selalu mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah sebagaimana firman Allah :

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

"Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian" (QS Al-Ahzab:21)


Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang mengerjakan semua larangan beliau,


وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

"Dan Ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan tinggalkan apa yang dilarang untukkmu (QS Al-Hasyr:7)


Keteladanan mereka lepada Rasulullah sangat luar biasa, sehingga tidak pernah bertanya tentang sebab atau musabab dari perbuatan beliau.

Diriwayatkan dari Al-BUkhari dari Ibnu Umar radhiyallahu Anhu berkata bahwa Rasulullan Shallallahu a'alaihi wasallam mengenakan cincin dari emas, lalu orang-orang mengenakan juga dari emas. Kemudian Nabi membuangnya dan bersabda,
"Aku tidak akan mengenakannya untuk selama-lamanya", maka mereka pun membuang cincin tersebut.
Ibnu Hajar berkata, "Hadist ini menunjukkan bahwa para sahabat selalu bergegas untuk meneladani semua perbuatan Rasulullah. Selama beliau menetepkan mereke mengikutinya, dan ketika beliau melarang mereka meninggalkannya" [1]


Dari Jabir, bahwasannya ia pernah pergi ke Syam untuk meriwayatkan satu hadist dari Abdullah bin Unai [2]
Dan Abu Ayyub berangkat dari Madinah menuju Mesir hanya untuk meriwayatkan sebuah Hadits dari Uqbah bin 'Amir [3]


Para tabi'in dan para pengikutnya tidak kalah "tamaknya" dalam mencari hadits dari para sahabat. Mereke mengikuti jejak dan langkah para sahabat. Said bin Al-Musayyib, salah satu tabi'in senior berkata, " Untuk mendapatkan satu hadits, aku rela menempuh beberapa hari perjalan siang malam" [4]


Amir as-Sya'bi, berangkat ke Makkah untuk mendapatkan tiga hadits yang pernah diceritakan kepadanya dengan harapan dapat bertemu dengan salah satu sahabat lalu bertanya tentang hadits-hadits tersebut.


As-Sya'bi menceritakan sebuah hadits kepada seorang lalu berkata kepadanya, "Aku berikan ini kepadamu secara cuma-cuma, yang pernah didapatkan dengan menempuh perjalanan ke Madinah"

Su’ul Khatimah

Setiap manusia tentu mengharapkan kelak agar ia dapat mati dalam keadaan yang baik (husnul khatimah). Namun ternyata, keadaan akhir yang baik tersebut bukanlah suatu perkara yang mudah untuk digapai. Hanya orang-orang yang memiliki keimanan dan keistiqomahan yang kuat lah yang mampu menggapai akhir kehidupan yang baik. Akhir kehidupan yang buruk (su’ul khatimah) merupakan suatu bencana yang sangat besar bagai seorang muslim karena ia menjadi tanda awal petaka bagi perjalanan hidup selanjutnya menuju akhirat. Shiddiq Hasan Khan menceritakan bahwa, “Su’ul khatimah memiliki sebab-sebab yang harus diwaspadai oleh seorang mukmin.” Kemudian beliau pun menyebut sebab-sebab seseorang tertimpa su’ul khatimah.
Kerusakan Akidah
Kerusakan dalam akidah, walaupun disertai dengan zuhud dan kesalehan yang sempurna, maka hal tersebut dalam menyebabkan seseorang terkena su’ul khatimah. Jika ia memiliki kerusakan dalam akidahnya dan ia meyakini serta tidak menyangka bahwa hal tersebut sebagai suatu kesalahan, maka terkadang kekeliruan akidahnya itu akan tersingkap pada saat dirinya mengalami sakratul maut. Setelah tersingkap, maka kerusakan sebagian akidahnya menyebabkan terhapusnya akidah lainnya. Dengan demikian, bila ia wafat dalam keadaan seperti ini sebelum ia menyadari dan kembali kepada iman yang benar, berarti ia mendapatkan su’ul khatimah dan wafat dalam keadaan tanpa iman. Selain itu, ia termasuk orang yang disebut oleh Allah dalam ayat, “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar: 47), dan ayat, “Katakanlah, ‘Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, padahal mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104).
Jadi, setiap orang yang memiliki akidah yang keliru, baik karena pendapatnya sendiri atau mengambil pendapat orang lain, maka ia berada dalam bahaya besar, dan zuhud serta kesalehannya akan sia-sia.
Maksiat
Banyak melakukan maksiat, maka kemaksiatan itu akan terus menumpuk dalam hatinya, dan memori terhadap kemaksiatan itu akan terungkap pada saat ia menghadapi kematian. Sebaliknya, jika seseorang cenderung pada ketaatan, maka kebaikan akan banyak hadir dalam memorinya disaat ia menghadapi kematian. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Tidaklah seseorang itu mati kecuali ditampilkan kepadanya orang-orang yang biasa ia gauli. Seorang lelaki yang suka bermain catur, maka ketika ia sekarat kemudian dikatakan kepadanya, “Ucapkanlah la ilaha illah Allah.” Ia akan menjawab, “Skak!” kemudian ia mati. Jadi, yang mendominasi lidahnya adalah kebiasaan yang sering ia lakukan selama hidupnya. Akibatnya, pada akhir hayatnya ia mengganti kalimat tauhid dengan kalimat “skak”. Ini seperti orang yang kawan-kawannya adalah pemabuk. Saat sekarat, seseorang datang untuk mengajarkannya kalimat syahadat, tetapi ia malah berkata, “Mari minum dan tuangkan untukku!” Kemudian ia mati.
Tidak Istiqamah
Sungguh seseorang yang istiqamah pada awalnya, lalu berubah dan menyimpang dari awalnya bisa menjadi penyebab ia mendapat su’ul khatimah, sebagaimana iblis yang pada mulanya merupakan pemimpin dan guru malaikat yang banyak ibadah. Tapi tatkala ia diperintahkan oleh Allah untuk sujud kepada Adam, ia kemudian membangkang serta menyombongkan diri hingga akhirnya pun iblis dimasukkan kedalam golongan kafir.
Iman yang Lemah
Iman yang lemah dapat melemahkan cinta kepada Allah dan menguatkan cinta dunia dalam hatinya, bahkan kelemahan imannya itu dapat menguasai dan mendominasi dirinya sehingga tidak tersisa dalam hatinya tempat untuk cinta kepada Allah kecuali sedikit saja. Lemahnya iman dalam diri seseorang dapat menjerumuskan ia dalam lembah nafsu syahwat dan maksiat, sehingga noda dosa dalam hatinya akan menumpuk sehingga akhirnya akan memadamkan cahaya imannya. Akhirnya, jika ia mati dalam keadaan iman yang sangat lemah ini, maka ia akan terancam diakhir hayatnya tertimpa su’ul khatimah.
Hal utama yang menyebabkan seseorang terkena su’ul khatimah adalah karena kecenderungan hatinya cinta pada dunia. Cinta dunia adalah penyakit hati yang umumnya menimpa manusia. Jadi, orang-orang yang menjelang kematiannya, sedangkan hatinya dikuasai oleh kecintaan terhadap dunia, maka roh yang keluar dari jasadnya kelak akan tunduk pada dunia dan terhalang dari Tuhannya.
Betapa menyedihkan ketika seseorang hidup di dunia bergelimang harta dan tahta, namun harus menghadapi akhir hayatnya dalam keadaan yang hina. Sesungguhnya rahmat dan ampunan Allah begitu luas, sehingga tidak mengenal kata terlambat memohon keselamatan pada-Nya agar kelak kita dapat mengakhiri hidup ini dalam keadaan yang diridhoi-Nya.


I. Bencana datang karena ucapan

Tidaklah timbul celaan pada saudaramu, kemudian Allah berikan rahmat padanya dan timpakan cobaan padamu” [2]. Yang dimaksud dengan celaan adalah seorang muslim yg menjelek-jelekkan saudaranya sesama muslim karena suatu dosa, padahal ia sudah bertaubat daripadanya, atau mengolok-olok fisik, gaya bicara, atau gerakannya. Ini adalah perkara yang berbahaya. Sedikit sekali orang yang waspada dari perkara ini. Dalam sebuah atsar: “Barangsiapa mencela saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati sebelum melakukannya” [3].

Berkata Imam Ahmad: "Aku mendengar al-Hasan berkata: "Kami memperbincangkan bahwa siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa yang ia sudah bertaubat pada Allah darinya maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberi cobaan padanya" [4]. Berkata Ibnu Sirin: "Aku pernah mencela seseorang karena kerugian, maka aku mengalami kerugian!". Berkata Ibnul Jauzi: Berkata seseorang: Aku mencela seseorang yang sebagian giginya sudah tidak ada, maka gigiku bertaburan !” [5].

Nah, jika anda merasakan banyak masalah, ruwetnya problematika kehidupan, seringnya cobaan menyapa, seakan akan setiap tarikan nafas kita adalah masalah dan masalah. Maka perlu diteliti jangan-jangan kita telah salah dalam berucap. Jangan-jangan saking mudahnya lisan kita ceplas-ceplos hingga ada kata-kata tidak sedap yang nyangkut di hati saudara kita. Apalagi di era yang sangat mengagung-agungkan kebebasan berekspresi kini. Seakan kebebasan itu menjadi tameng mengumbar kata-kata kurang manfaat. Khususnya keadaan disekitar kita, bangsa kita, jangan-jangan bangsa yang bisanya “cuma omong doang" pintar berkoar dan suka ribut itu kian bertumpuk cobaan dan masalah dikarenakan mulut-mulut dan lidahnya kurang dijaga. Wallahu musta’an.

Diriwayatkan dari sebagian pendahulu yg shalih: "Seandainya aku mengejek seekor anjing, tentu aku khawatir diriku menjadi anjing". Demi Allah, ini adalah hal yang nyata dan akibatnya nyata baik terhadap orang yang mencemooh atau pada keturunannya. Ini semua adalah akibat buruk dari maksiat dan berbagai kepahitan yang ditimbulkan olehnya. Tidak ada yang bisa menolak bala ini kecuali doa yang agung ini: "Segala puji bagi Allah yang melepaskanku dari apa yang telah menimpamu dan melebihkanku dari kebanyakan makhluknya". Nabi bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkannya tidak akan tertimpa bala tersebut" [6].

II. Laknat dan akibat buruknya

Laknat sering dijumpai pada kebanyakan omongan manusia. Ini adalah salah satu bala yang meluas. Benarlah hadits nabi Muhammad SAW ketika di tanya tentang orang-orang yang suka melaknat, beliau menjawab : "Manusia di akhir zaman, ucapan salam yang mereka ucapkan di saat bertemu adalah : saling melaknati" [7].

Perhatikan akibat buruk dari laknat dalam hadits ini, dari Abu Darda' bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya bila ada seseorang yang mengutuk sesuatu maka kutukan itu naik ke langit, tetapi pintu-pintu langit itu ditutup tidak mau menerima kutukan tersebut, kemudian kutukan itu turun ke bumi tetapi pintu-pintu bumi itu ditutup tidak mau menerima kutukan tersebut. Lantas kutukan itu lari ke kanan dan ke kiri, apabila kutukan itu tidak mendapat tempat maka ia mencari orang yang dikutuknya, bila orang itu pantas mendapat kutukan, maka ia menimpa orang itu, tetapi bila orang itu tidak pantas mendapat kutukan maka ia kembali kepada orang yang mengucapkan kutukan tersebut" [8].

Lebih dari itu, laknat menyebabkan pelakunya diharamkan dari mati syahid dan syafaat, sebagaimana dalam hadits Abu Darda : Aku mendengar Rasulullah bersabda: "Orang-orang yang suka melaknat itu tidak bisa memberikan syafaat dan tidak pula meraih syahid" [9].

Termasuk dalam hal ini bila yang dilaknat tidak berakal (hewan, benda dll–pent), sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu Abbas tentang seseorang yang melaknat angin, maka Nabi bersabda: "Jangan engkau melaknatnya, karena sesungguhnya ia diperintah. Barangsiapa yang melaknat sesuatu yang tidak semestinya, maka ia akan kembali pada orang yang mengucapkannya" [10].

Demikianlah kengerian akibat laknat dan kutukan, padahal ianya berasal dari sebongkah lidah tak bertulang. Ringan tanpa beban saat mengucapnya, tapi berat menggunung akibatnya, terlebih konsekuensi syariat dibelakangnya. Jangankan meraih syahid, malahan akan balik menjadi boomerang mengenai diri sendiri kutukan dan laknat itu sekecil apapun. Ayo dipikir-pikir sendiri…pernahkah kita terceplos kalimat atau kata terkategorikan laknat dan kutukan walau secuil?

Termasuk dari dosa yang terbesar bila seorang anak melaknat kedua orang tuanya dengan cara tidak langsung, sebagaimana diberitakan oleh Nabi: "Seseorang yang mencela ayah orang lain, lalu orang yang di cela itu mencela ayahnya, dan ia mencela ibu orang lain, lalu orang yang di cela tersebut membalas dengan mencela ibu (orang yang mencela)" [11].

Dikiaskan dengan perbuatan laknat ini adalah memfasikan atau mengkafirkan seorang mukmin [12].

Nah, inilah jeratan halus bagi para pencela, benar ianya tidak langsung mencela kedua-orangtuanya sendiri (bahkan agama anutannya), tapi perbuatan mencela orang-tua orang lain, serta agama lain akan membalik kepada dirinya sendiri. Terlebih belitan “ghuluw” di zaman kita makin kuat. Hingga muncullah model manusia-manusia tukang cela berdalih agama, maksud hati pengen tampak ilmiah dan tegas dimata insan, tapi panggang jauh dari apinya. Maka makin berhati-hatilah terhadap lisan tak bertulang yang kita miliki

Dosa 

Manusia bukanlah sosok makhluk yang sempurna. Ia senantiasa terjerumus dalam lupa dan dosa. Tak pernah sedikitpun ia kan terluput dari segala macam kesalahan. Salah, menjadi suatu hal yang dibenci, namun merupakan suatu keniscayaan yang akan manusia alami. Akan tetapi, kesalahan dalam suatu kemaksiatan memberi citra yang kelam bagi diri seseorang.
Kemaksiatan tidak hanya menghapuskan akumulasi pahala yang telah kita kumpulkan, namun terkadang pula menjadikan seseorang putus asa untuk meraih tujuan hidupnya. Acapkali seseorang yang terbelenggu dalam maksiat menjadi hilang dalam menggapai asa, seolah runtuh sudah pondasi kebajikan yang selama ini ia bangun dengan jerih payah. Kemaksiatan memang selalu menghantui manusia dengan derita. Derita berupa siksa dan azab yang siap turun entah dari langit atau bumi datangnya. Padahal, pada saat kita terjerat dalam kemaksiatan, kita tentu belum siap untuk menghadapi kebinasaan.

Kemaksiatan memang merupakan derita yang tiada tara. Diri kita dibuatnya menjadi pecundang dan pengecut dalam menghadapi kematian. Tak hanya itu, kemaksiatan juga meninggalkan noktah-noktah hitam dalam hati kita, menjadikan diri kita sebagai sosok yang keras, kaku, dan kasar. Hilanglah dari dalam diri kita sifat kelembutan, kebijaksanaan, dan kearifan. Air mata pun tak sanggup lagi mengalir dari pelupuk mata kala mendengar ayat-ayat Tuhan dikumandangkan. Kepedulian terhadap sesama pun lenyap, bahkan pun mungkin saja senyum tersirat manakala mendengar orang lain tertimpa dalam bencana. Itulah hati yang telah ternaungi oleh awan gelap. Kemaksiatan telah menggerogoti esensi kemuliaan hati, kemudian menjadikannya hina. Hati seolah kehilangan pijakan dalam melakukan suatu amalan. Semakin lemah oleh rayuan iblis yang teramat melenakan. Hati demikian mudah tergoda akan rayuan makhluk laknat yang menawarkan kesenangan sesaat. Ia kehilangan arah ditengah pekatnya kabut. Tak lagi ada kendali yang mampu menakhodai. Kemaksiatan merupakan cerita pilu dari langkah awal memijak jurang neraka.
Kemaksiatan memang tombak yang menikam jiwa. Ia tidak hanya menjadikannya luka, namun mengoyaknya hingga tercabik-cabik. Jiwa ataukah hati itu menjadi serpihan-serpihan yang sulit untuk merangkainya kembali. Maksiat mengeraskan hati, menjadikannya seakan-akan tameng yang tak tertembus cahaya hidayah. Tentu saja, hal itu akan semakin menenggelamkan hati dalam penyimpangan dan kesesatan. Hati kian terkekang dalam racun dan candu, sulit untuk melepaskan diri darinya. Hati semakin tergoda menunaikan satu kemaksiatan, dan kemudian akan menuju kemaksiatan yang lain.
Demikian hinanya suatu kemaksiatan, hingga ilmu pun pergi dan tak sudi hinggap diakal pikiran. Ilmu sungguh merupakan cahaya yang menjadi penerang dalam hidup kita. Maka ia hanya ingin terendap dalam pikiran dan hati yang bersih.
Pintu taubat masih terbuka lebar selama ruh masih bersemayam didalam raga. Tuhan pun tak sungkan menerima taubat hamba-Nya sebelum kiamat datang menghampiri. Iringan amal soleh pun akan menyapu debu-debu dosa yang mengotori jiwa kita. Namun, ternyata sedikit saja dari kita yang berkomitmen untuk melaksanakannya. Betapa banyak anak manusia yang justru bangga, atau mungkin bahagia konsisten dalam menempuh jalan kelam. Tetap mereka tidak mungkin merasakan esensi kebahagiaan dalam suatu kemaksiatan. Tentu saja, kita semua harus bertanya kepada relung hati yang terdalam. Tidak ada satu pun dari diri kita yang tidak ingin menghirup sejuknya udara surga. Kelamnya hati tentu akan tetap merindukan kebahagiaan di akhirat nanti. Kita tetap saja manusia, makhluk lemah yang tiada sanggup menghadapi siksa neraka yang panasnya tujuh puluh kali lipat dari panasnya api di bumi. Mungkin mulut kita biasa berdusta, namun sanubari tidak akan bisa ditipu. Tanyakan padanya, pasti sanubari teramat mendamba ketentraman kehidupan di surga. Maka tiada lain, kerahkan upaya lindungi diri dari segala perbuatan dosa.

Setiap Orang Adalah Guru Kehidupan 

Sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang muslim, penghargaan yang tanpa melihat status, warna kulit, ataupun pekerjaan seseorang. Seorang yang mengakui dirinya muslim, wajib mau menghargai orang lain. Penghargaan itu harus hadir di atas keyakinan bahwa masing-masing orang memiliki kelebihan, dan tidak ada seorang pun di antara kita yang sanggup hidup, dan menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya sendiri. Manusia adalah makhluk berjama’ah yang memerlukan kontribusi orang lain dalam hidupnya. Tetapi, seringkali penghargaan itu hilang dari diri kita, terhadap orang-orang yang selama ini ada disekitar kita, orang-orang yang banyak memberi kontribusi untuk kemudahan dalam hidup kita, justru karena mereka sering bersama kita.
Agar hal ini tidak lagi menjadi kebiasaan kita, maka ada persepsi-persepsi yang harus kita bangun, agar ketika kita memandang orang lain ada pemuliaan dan penghargaan yang membuat mereka layak menjadi bagian penting dalam hidup kita.

Setiap Orang Punya Perasaan yang Harus Dijaga
Manusia adalah makhluk yang tumbuh di dalam dirinya perasaan. Tak peduli seperti apa statusnya, seberapa usianya, dan bagaimana keadaannya, perasaan itu selalu ada dalam dirinya. Anak kecil punya perasaan sebagaimana orang dewasa pun mempunyai perasaan. Rakyat jelata pun memiliki perasaan sebagaimana juga penguasa maupun bangsawan. Dan kita, wajib memahami dan memaklumi perasaan itu agar bisa menghargai setiap orang yang kita hadapi.

Dalam konsep ‘hablum minannas’ yang diajarkan kepada kita, ada tujuan dan maksud yang sangat jelas bahwa kita perlu menjaga hubungan sesama manusia, selain menjaga hubungan baik dengan Dzat yang Maha Pencipta. Maknanya adalah, menjaga perasaan orang lain sama pentingnya dengan menjaga perasaan diri sendiri, karena Allah Ta’ala telah menjadikan manusia itu senang akan penghargaan, pujian, dan kelembutan tutur kata sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159).
Penghargaan terhadap perasaan orang lain tidak berarti kita harus selalu setuju dengan apa yang diucapkan atau yang dikerjakannya. Menghargai orang lain secara sederhana bisa dilakukan dengan mengatur dan memperbaiki tata cara kita mendengar, menanggapi, dan memberi perhatian terhadap apa yang diceritakan, dikerjakan atau yang diperankan orang tersebut.
Setiap Orang Adalah Guru Kehidupan
Dikehidupan ini, sesungguhnya hubungan kita dengan orang lain bukanlah sekedar interaksi dan pergaulan biasa. Tetapi kita hidup untuk saling berbagi, memberi, maupun menerima dalam hal apapun. Dalam kehidupan ini, sesungguhnya kita saling mengisi, saling mengajar untuk mencapai dan mendapatkan keadaan kita yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih bermartabat.
Dikehidupan ini kita sedang belajar banyak hal agar kita dapat menemukan kearifan. Berproses dan terus berproses, hingga kelak kita menjadi orang-orang yang bijak. Dan setiap orang yang kita temui adalah guru-guru kita yang akan mengajarkan sesuatu yang baik tentang makna kehidupan dan arti pergaulan. Karena itulah kita harus bisa menghargai siapa pun orang di dunia ini, termasuk orang-orang biasa yang setiap kita temui dengan peran-perannya yang sederhana. Termasuk orang-orang yang kadang-kadang kita pandang sebelah mata karena status dan pekerjaannya mungkin tak sepadan dengan kita.

Setiap orang adalah guru dalam kehidupan kita. Kita belajar darinya tentang pribadinya yang unik dan menarik, yang kadang tersembunyi atau sengaja kita sembunyikan karena hanya mau melihatnya dari sudut luar yang sempit, dari tubuhnya yang hanya dibalut dengan pakaian yang lusuh.

Jangan Abaikan Ucapan Terima Kasih
Manusia tidak akan pernah bisa hidup dengan mengerjakan segala sesuatunya dengan sendiri. Kita mesti memerlukan banyak bantuan orang lain, sekecil apapun bantuannya. Karena itu, kita harus pandai berterima kasih kepada “orang-orang kecil” yang hadir disekitar kita, membantu kita menyelesaikan tugas-tugas dan urusan-urusan kita.

Mengucapkan terima kasih adalah suatu penghargaan yang tulus kepada orang lain dan tidak dapat kita nilai dengan uang. Mengucapkan terima kasih tidaklah perlu memandang kepada siapa kita berterima kasih. Mungkin saja kita berterima kasih kepada orang lain yang mungkin status sosialnya jauh dibawah kita.

Ucapan terima kasih kita yang tulus, laksana air yang menyejukkan dahaga ditengah padang pasir. Ucapan terima kasih walaupun sepele, akan tetapi mengandung makna yang begitu besar. Seseorang yang mengucapkan terima kasih menunjukkan bahwa orang tersebut berbesar hati, mau memberikan penghargaan kepada lawan bicaranya. Ucapkan terima kasih kepada siapa pun yang telah membantu kita menyelesaikan tugas-tugas kita.
Ucapan terima kasih tentu patut kita layangkan kepada orang-orang yang kurang kita hargai selama ini, karena dengan begitu, maka secara otomatis kita telah berterima kasih kepada Allah Ta’ala.

Setiap Pribadi Adalah Penting dan Istimewa
Sesungguhnya setiap orang memanglah istimewa. Setiap orang memiliki kelebihan, dan karena itu kita saling membutuhkan. Dan karena itu pulalah, kita tidak boleh saling merendahkan. Kita diajarkan kalimat, “Jangan engkau rendahkan orang lain, kerena setiap sesuatu punya kelebihan dan keistimewaan.”

Sesekali mungkin kita perlu memerhatikan tukang sol sepatu, tukang reparasi payung, tukang jahit keliling, pemangkas rambut, yang sering menghampiri kita untuk menawarkan jasanya. Tangan-tangan mereka begitu lincah dan terampil, sehingga kita merasa nyaman dan percaya menggunakan jasa mereka. Tapi, orang-orang itu begitu sulit kita hargai. Kadang ketika kita memakai jasa seorang tukang sol sepatu, dengan begitu kejamnya kita menawar harga. Padahal, bisa jadi di hari itu, kita adalah pelanggan pertamanya setelah menempuh perjalanan yang teramat jauh. Sementara di rumahnya telah menunggu anak istri yang membutuhkan makanan dan pakaian.
Orang-orang itu adalah orang-orang istimewa. Mereka mampu mengerjakan sesuatu yang tidak dapat kita lakukan. Maka untuk menghargai mereka, tidak akan bisa jika kita tak pernah menganggapnya penting dan istimewa.

Orang-orang itu memang kecil secara pekerjaan, tapi istimewa dari sisi keahlian. Mereka ada disekitar kita, selalu bersama kita dengan tanpa pernah menuntut untuk dihargai, sebab mereka adalah orang-orang yang tahu diri, lebih dari kita. Akan tetapi interaksi dan kebersamaan kita dengan mereka, sudah seharusnya mendorong kita untuk pandai menghargai, memuliakan, dan menghormati, sebab tanpa kehadiran mereka mungkin tidak ada pekerjaan-pekerjaan berat yang bisa kita selesaikan, tak ada prestasi-prestasi hebat yang bisa kita capai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar